Bab 7
Asmau'ul Husna
A. AL-GHAFFAR (الغفار)
1. Pengertian al- Gaffār
Al-Gaffar berasal dari kata gafara yang berarti menutup. Ada juga
yang berpendapat bahwa ia diambil dari kata al-Gafaru yang artinya
tumbuhan yang digunakan untuk mengobati luka. Jika diambil pendapat yang
pertama Allah Swt melalui asmaNya al-Gaffar menampakkan kebaikanNya
dengan menutupi keburukan manusia di dunia dengan anugerahNya. Sementara
pendapat yang kedua berarti Allah Swt memberikan anugerah penyesalan
atas dosa bagi hambaNya yang akhirnya penyesalan ini sebagai obat yang
menyembuhkan dan terhapusnya dosa.
Di dalam al Qur’an kata al-Gaffar disebutkan sebanyak lima kali dua
ayat disebutkan dengan terpisah yang identik dengan pengampunan dosa
seperti di dalam firman Allah Swt:
Maka aku katakan kepada mereka: ‘Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun (QS. Al- Nuh (71)-10)
Sementara tiga ayat lainnya disandingkan dengan sifat ‘Aziz. Hal yang
terakhir ini tidak menunjukkan pengampunan dosa melainkan Allah Swt
dengan al-Gaffarnya menutupi dosa serta kesalahan dan banyak hal lainnya
dari diri manusia. Hal ini diantaranya terdapat dalam al Quran :
Tuhan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya yang Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.(QS. Shad(38):66)
2. Meneladani Allah dengan sifat al-Gaffār
Imam al-Ghazali mengartikan al-Gaffar Allah sebagai Dzat Yang
menampakkan keindahan dan menutupi keburukan. Dosa yang dilakukan oleh
seseorang adalah bagian keburukan yang ditutupi oleh Allah sehingga
tidak terlihat oleh orang lain di dunia dan dikesampingkan kelak di
akhirat. Di antara hal yang ditutupi oleh Allah Swt pada manusia:
Pertama, tubuh bagian dalam manusia dengan dengan bentuk lahiriah yang indah.
Kedua, bisikan dan kehendak hati manusia yang buruk.
Ketiga, dosa dan kesalahan manusia yang semestinya diketahui oleh khalayak umum.
Dengan demikian makna al-Gaffar demikian luas karena mencakup
berbagai hal dan bukan hanya semata-mata tertuju kepada seluruh manusia
di muka bumi ini.
Kita dapat meneladani Allah melalui sifat al-Gaffar ini dengan cara memilki sifat-sifat berikut :
a. Senantiasa memaafkan kesalahan orang lain
Memaafkan atau al ‘afwu dalam bahasa Arab berarti pembebasan dari
tuntutan, kesalahan atau kekeliruan pada seseorang. Di dalam al Qur’an
terdapat tiga puluh tujuh kata al ‘afwu dengan berbagai kata
perubahannya. Di dalam al Quran misalnya dinyatakan:
“Dan pema’afan kamu itu lebih dekat kepada takwa”(QS. Al Baqarah(2):237)
Di dalam hadits dari Abu Hurairah Rasulullah Saw bersabda:
“Berilah kasih sayang dan berikan maaf, niscaya Allah Swt mengampuni kalian (HR. Ibnu Majah)
b. Menutupi kesalahan orang lain dengan tidak membeberkannya
Menutupi kesalahan orang lain dianjurkan oleh Rasulullah Saw.
Rasulullah Saw menjanjikan bagi orang yang menutupi aib atau kesalahan
orang lain, maka kelak Allah Swt akan menutupi aibnya juga di akhirat.
Rasulullah Saw bersabda:
“Siapa saja yang menutupi (aib) seorang muslim, maka Allah akan menutupi aibnya di dunia dan di akhirat”(HR. Ibnu Majah)
c. Menampakkan kelebihan orang lain dengan tidak menampilkan kekurangannya
Menampakkan kebaikan atau kelebihan orang lain juga merupakan
pengamalan dari al-Gaffar. Dengan melakukan hal ini berarti seseorang
benar – benar mencintai saudaranya dengan sebenar-benarnya.
B. AL-RAZZAQ ( الرزاق)
1. Pengertian al-Razzaq
Al-Razzaq diambil dari kata razaqa atau rizq, yakni rezeki. Hanya
saja makna Rezeki mengalami pengembangan makna sehingga ia juga dapat
berarti adanya pangan, terpenuhinya kebutuhan, honor seseorang,
ketenangan ataupun hujan serta makna – makna lainnya. Dengan demikian
rezeki berarti segala pemberian dari Allah Swt yang dapat dimanfaatkan
baik berupa fisik, maupun non fisik.
Dalam al Quran kata al-Razzaq hanya disebutkan satu kali di dalam firman Allah Swt:
“Sesungguhnya Allah Dialah Maha pemberi rezki yang mempunyai kekuatan lagi sangat kokoh”(QS. Al-Dzariyat(51):58)
Hanya saja banyak ayat yang lain yang menggunakan akar kata al- Razzaq ini yang tersebar di dalam al Quran.
Al-Razzaq berarti Allah Swt secara berulang-ulang dan terus-menerus
memberikan banyak rezeki kepada makhlukNya. Dalam hal ini Imam Ghazali
berkata:”Allah Swt yang menciptakan rezeki dan Ia pula yang menciptakan
pencari rezeki sekaligus Yang mengantarkannya serta menciptakan hukum
kausalitas sehingga manusia dapat menikmatinya”
2. Meneladani Allah dengan sifat al-Razzāq
a. Setiap orang sudah dijamin rezekinya.
Sesungguhnya seluruh makhluk Allah sudah dijamin rezekinya. Manusia
yang mendapatkan rezeki dengan cara-cara yang haram sekalipun
sesungguhnya oleh Allah Swt sudah disediakan rezeki yang halal, tetapi
sosok yang bersangkutan enggan mengambilnya atau kurang puas dengan
perolehannya sehingga ia memilih rezeki yang haram. Allah Swt berfirman:
“Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezkinya (QS. Hud(11):6)
Agama menganjurkan manusia dalam rangka memperoleh rezeki untuk
berusaha semaksimal mungkin dan apabila terhalangi, maka ia dianjurkan
untuk berhijrah.
b. Berusaha secara maksimal dan qona’ah
Harus dipahami bahwa jaminan rezeki yang diberikan oleh Allah Swt
disertai dengan usaha. Selain itu kita juga harus menyadari bahwa yang
memberikan jaminan rezeki tersebut adalah Allah Swt Dzat yang
menciptakan makhluk dan hukum alam yang mengatur kehidupannya. Dengan
demikian kehendak, perasaan selera dan instink manusia merupakan rezeki
dan dengan hal-hal tersebut tercipta dorongan manusia untuk berusaha.
Setelah manusia berusaha dan mendapatkan hasil, maka harus diiringi
dengan sifat qana’ah atau merasa puas dengan apa yang diperoleh. Hanya
saja jangan salah dalam memahami qana’ah sebab kepuasaan tersebut harus
melalui tiga hal:
Pertama, Usaha maksimal yang halal.
Kedua, keberhasilan memiliki hasil atau rezeki dari usaha yang maksimal itu sendiri.
Ketiga, Dengan hati yang lapang mnyerahkan apa yang telah dihasilkan
karena sudah merasa puas dengan penghasilan sebelumnya. Oleh karena itu
usaha yang maksimal yang tidak disertai dengan keberhasilan atau
kepemilikan hasil usaha, maka ia belum dikatakan qana’ah apalagi jika
seseorang menyerahkan apa yang ia peroleh tidak dengan hati yang lapang.
c. Mengantarkan rezeki kepada orang lain
Dalam rangka meneladani asma Allah al- Razzaq sudah sepatutnya
manusia menjadi penyebab sampainya rezeki yang ia terima kepada orang
lain. Semakin banyak orang memberikan rezeki yang ia peroleh kepada
orang lain, maka ia semakin meledani sifat al- Razzaq Allah Swt.
Meskipun demikian al-Quran tidak menganjurkan seseorang untuk memberikan
seluruh rezeki yang diperolehnya yang bersifat materi kepada orang
lain. Dalam hal ini Allah Swt berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, belanjakanlah (di jalan Allah)
sebagian dari rezki yang telah Kami berikan kepadamu (QS. Al-
Baqarah(2):254)
Ayat di atas juga mengisyaratkan bahwa hendaklah sebagian rezeki yang
kita peroleh untuk ditabung untuk biaya-biaya yang tidak terduga.
Adapun untuk rezeki yang bersifat non fisik seperti ilmu pengetahuan,
maka tidak ada kewajiban menyimpannya. Karena ilmu pengetahuan semakin
diberikan, maka semakin bettambah bukan berkurang.
C. AL-MALIK ( الماك)
1. Pengertian al-Malik
Al-Malik secara umum diartikan dengan kata raja atau penguasa. Kata
al-Malik terdiri dari huruf Mim Lam Kaf yang rangkaiannya mengandung
makna kekuatan dan Keshahihan. Kata al-Malik di dalam al-Qur’an terulang
sebanyak lima kali dan biasanya diartikan dengan arti raja. Dua dari
ayat tersebut disandingkan kepada kata al- Haq yang berarti pasti dan
sempurna. Hal ini karena kerajaan Allah Swt abadi dan sempurna tidak
seperti kerajaan manusia. Hal ini terlihat dalam firman Alllah Swt :
“Maka Maha Tinggi Allah, raja yang sebenarnya” (QS. Al- Mu’minun(23):116)
Imam al-Ghazali menyatakan kata al-Malik menunjukkan bahwa Allah Swt
tidak membutuhkan kepada segala sesuatu melainkan segala sesuatu
membutuhkan diriNya. Tidak hanya itu bahkan segala wujud yang ada di
muka bumi ini bersumber darinya dan ia menjadi pemilik bagi seluruh
wujud tersebut. Dengan demikian Allah Swt adalah raja sekaligus pemilik.
Kepemilikan Allah Swt sangat berbeda dengan kepemilikan manusia.
Kepemilikan manusia terbatas sementara kepemilikan Allah Swt tidak
terbatas. Sebagai misal bisa saja manusia memiliki mobil hanya saja
dengan kepemilikannya tersebut ia memiliki keterbatasan. Tidak mungkin
seseorang dengan senagaja menabrakan mobilnya. Sebab apabila ia
melakukan hal ini, minimal kecaman akan ia peroleh karena manusia harus
mempertanggungjawabkan perbuatannya. Sementara ini tidak berlaku bagi
Allah Swt karena Allah Swt tidak dimintakan pertanggungjawaban atas
perbuatanNya. Allah Swt juga sebagai raja. Raja berarti Dzat yang
memiliki hak mengatur terhadap diriNya maupun sosok lain dengan kekuatan
dan kekuasaannya. Manusia bisa saja menjadi raja tetapi tidak dapat
menjadi raja yang mutlak karena hal tersebut hanya milik Allah Swt.
2. Meneladani Allah dengan sifat al-Malik
a. Manusia memiliki keterbatasan kepemilikan terhadap sesuatu.
Dengan asma Allah Swt al-Malik ini seharusnya manusia sadar bahwa
dirinya terbatas. Bukan hanya itu harta benda yang mereka miliki juga
terbatas, baik terbatas jumlahnya atau terbatas pemakaiannya. Manusia
hanya bisa memakai harta yang ia milikidi dunia saja. Demikian pula
kepemilikan yang ia miliki juga terbatas. Seseorang bisa saja memiliki
karyawan tetapi ia hanya dapat menguasai sisi lahiriah dari karyawannya
tersebut. Ia tidak dapat menguasai sisi bathinnya.
b. Pengendalian nafsu
Dengan mengerti dan memahami sifat al-Malik dengan baik, seseorang
dapat menguasai hawa nafsunya. Godaan yang paling besar bagi manusia
adalah godaan hawa nafsu. Dalam sejarah, umat Islam pernah mengalami
kekalahan perang, yaitu dalam perang Uhud. Kekalahan tersebut terjadi
karena sebagian dari pasukan umat Islam tergoda dengan harta ghanimah
atau harta rampasan perang sehingga Allah Swt mengurangi kekuatan mereka
dan akhirnya mereka kalah di dalam perang. Saat itu seandainya umat
Islam tidak tergoda dengan harta rampasan perang yang ada dan menyakini
bahwa Allah Swt adalah Pemilik semuanya, niscaya pasukan umat Islam akan
menang.
c. Bersyukur terhadap nikmat Allah.
Mensyukuri nikmat Allah yang telah diberikan kapada manusia merupakan
bentuk pengamalan dari penghayatan seseorang terhadap asama Allah Swt
al-Malik. Seseorang akan sadar bahwa pemilik sebenarnya bagi segala
sesuatu adalah Allah Swt. Oleh karena itu ketika seseorang sudah
berusaha dengan maksimal lalu ia memperoleh rezeki, maka ia akan
mensyukuri rezeki itu. Ia tidak akan mengumpat atau mencaci orang lain
karena ia sadar bahwa Allah Swt adalah pemilik sejatinya.
D. AL-HASIB ( الحاسب)
1. Pengertian al-Hasib
Al-Hasib secara etimologi berasal dari kata hasiba dengan tiga huruf
Arab ha, sin dan ba. Setidaknya terdapat empat kata dalam bahasa Arab,
yaitu menghitung, mencukupkan, bantal kecil dan penyakit yang menimpa
kulit sehingga kulit menjadi putih. Hanya saja makna ketiga dan keempat
dari kata al-Hasib tidak mungkin dilekatkan kepada Allah Swt. Dalam al
Quran kata al-Hasib disebutkan empat kali. Tiga terkait dengan Allah Swt
dan satu terkait dengan manusia. Dua ayat yang terkait dengan Allah Swt
dapat diartikan dengan Dzat yang memberi kecukupan. Di antaranya
terdapat dalam firman Allah Swt:
4s”x.ur «!$$Î/ $Y7Å¡ym ÇÌÒÈ
“Dan cukuplah Allah sebagai Pembuat perhitungan”(QS. Al- Ahzab(33):39)
Imam al-Ghazali mengartikan al-Hasib dengan Dia yang mencukupi siapa
saja yang mengandalkan diriNya. Sifat ini hanya milik Allah karena tidak
ada satu makhlukpun di dunia ini yang dapat mencukupi kebutuhan orang
lain. Menurut al-Ghazali rezeki yang diberikan oleh Allah Swt kepada
bayi sesungguhnya karena Al- Hasibnya Allah Swt. Allahlah yang mencukupi
kebutuhan bayi dengan menciptakan ibu yang menyusui, air susunya dan
instink serta keinginan untuk menyusui.
Al-Hasib dapat diartikan juga dengan menghitung. Jika kata Al-Hasib
dikaitkan dengan makna menghitung, maka Allah adalah Dzat yang melakukan
perhitungan, baik menghitung amal baik dan buruk seorang manusia dengan
cermat dan teliti sehingga tidak ada yang terlepas sedikitpun.
Terkadang kata al-Hasib juga dapat diartikan sebagai pemberi perhitungan
2. Meneladani Allah dengan sifat al-Hasib
a. Tenang dan tentram bersama dengan Allah Swt.
Seseorang yang memaknai al-Hasib sebagai Dzat yang memberi kecukupan,
maka ia akan nyaman dan tentram. Ia tidak akan terganggu oleh bujuk
rayu setan lalu menjadi sekutunya dan ia tidak akan sedih saat harus
kehilangan sesuatu, baik berupa materi atau kesmpatan karena ia yakin
dirinya sudah merasa cukup dengan adanya Allah Swt. Allah Swt berfirman:
“Dan mereka menjawab: “Cukuplah Allah menjadi penolong Kami dan Allah adalah Sebaik-baik Pelindung”.(QS. Ali Imran(3):173)
b. Melakukan amal shalih semata-mata karena Allah.
Seseorang yang memaknai al-Hasib dengan makna perhitungan, maka ia
akan meyakini sesungguhnya Allah Swt akan menghitung amal shalih setiap
manusia. Bagi yang meneladaninya, maka terlebih dahulu ia akan
sepenuhnya menyadari bahwa hanya Allah Swt yang memberinya kecukupan.
Dengan demikian segala yang ia lakukan ditujukan semata-mata karena
Allah Swt. Selain itu segala kehendak yang ia lakukan pasti harus sesuai
dengan kehendakNya. Hal ini dilakukan karena ia yakin Allah Swt telah
mencukupkan kebutuhannya.
c. Melakukan introspeksi diri secara terus-menerus
Seandainya makna al-Hasib diartikan sebagai Dzat yang memberi
perhitungan, maka yang meneladaninya sudah pasti akan senantiasa
melakukan introspeksi diri. Hal tersebut dilakukan karena ia menyadari
sepenuhnya kelak Allah Swt akan melakukan perhitungan terhadap dirinya
dengan amat cermat dan teliti. Selain itu, dalam hal apapun yang diminta
atas dasar kewajiban agama seperti menunaikan zakat mal misalnya, maka
ia akan segera menghitung hartanya dengan cermat dan penuh ketelitian
sehingga tidak ada yang keliru.
E. AL-HADI ( الهادى)
1. Pengertian al-Hadi
Secara etimologi kata al-Hadi diambil dari akar kata hadaya, yaitu
huruf ha, dal dan ya. Ia dapat diartikan dengan penunjuk jalan karena ia
selalu berada di depan memberi petunjuk. Tongkat bagi orang-orang
tertentu misalnya orang buta dapat dikatakan sebagai al-Hadi karena ia
digunakan mendahului kakinya sebagai petunjuk ke mana kaki harus
melangkah. Selain itu al-Hadi juga dapat berarti menyampaikan dengan
lemah lembut. Dari makna ini terlahir istilah hadiah karena hadiah
biasanya disampaikan dengan kelembutan sebagai bentuk simpatik seseorang
pada orang lain. Dari kata tersebut juga terlahir kata al-hadyu yang
berarti binatang yang disembelih di baitullah sebagai persembahan. Dalam
al-Qur’an kata al-Hadi yang diserta dengan alif dan lam tidak ada. Kata
yang ada Hadi tanpa alif dan lam sebanyak tiga kali seperti firman
Allah Swt:
3 ¨bÎ)ur ©!$# Ï$ygs9 tûïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä 4n<Î) :ÞºuÅÀ 5OÉ)tGó¡B ÇÎÍÈ
“Sesungguhnya Allah adalah pemberi petunjuk bagi orang-orang yang beriman kepada jalan yang lurus”(QS. Al- Haj(22):54)
Allah Swt sebagai Al Hadi berarti Allah Swt yang menganugerahkan
petunjuk. Petunjuk Allah Swt kepada manusia bermacam-macam sesuai dengan
kebutuhan manusia itu sendiri.
2. Meneladani Allah dengan sifat al-Hadi
a. Meyakini bahwa petunjuk Allah Swt banyak sekali
Di dalam kehidupan di dunia, manusia sangat membutuhkan petunjuk.
Petunjuk yang dibutuhkan sangat banyak dan ia harus yakin bahwa Allah
Swt memiliki petunjuk-petunjuk itu. Agama mensyariatkan shalat hajat dan
istikharah karena semata-mata manusia memerlukan eksistensi
petunjukNya. Dengan demikian ketika seseorang melaksanakan shalat hajat
atau istikharah, maka secara tidak langsung ia meminta petunjuk kepada
Allah Swt Dzat yang memiliki petunjukpetunjuk tersebut.
b. Meyakini bahwa agama merupakan petunjuk atau hidayah tertinggi.
Allah Swt memberikan banyak hidayah atau petunjuk kepada hambanya.
Setidaknya ada empat petunjuk yang diberikan oleh Allah swt kepada
manusia.
Pertama, Naluri. Hal pertama yang diberikan oleh Allah Swt adalah
naluri. Naluri merupakan dorongan yang diciptkan oleh Allah Swt kepada
manusia dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya. Seorang bayi yang
terlahir ke dunia misalnya, dengan nalurinya langsung mencari air susu
ibunya.
Kedua, panca indera. Allah Swt memberikan panca indera kepada manusia
agar dengan panca indera mereka dapat eksis di muka bumi ini. Hanya
saja banyak orang tertipu dengan panca inderanya, misalnya ketika
seseorang di malam hari melihat bintang-bintang yang kecil sekali
padahal dalam realitasnya ia besar.
Ketiga, Akal. Akal diberikan oleh Allah Swt untuk meluruskan petunjuk
panca indera. Dengan akal manusia mampu menyaring dan menyimpulkan
seluruh informasi yang diberikan oleh panca indera.
Keempat, Agama. Meskipun akal berfungsi menyaring informasi tetapi
kemampuan akal terbatas karena akal hanya bisa menelaah alam fisik saja.
Dengan demikian diperlukan agama untuk menelaah bidang yang tidak
adapat dijangkau oleh akal.
c. Memberikan petunjuk kepada orang lain dengan sungguh-sungguh dan tanpa pamrih.
Bagi yang meneladani asma Allah al-Hadi, maka ia akan memberikan
petunjuk kepada orang lain dengan sungguh-sungguh dan tanpa pamrih. Hal
ini harus dilakukan karena Allah Swt dalam memberikan petunjuknya kepada
manusia tanpa didasari pamrih. Dengan demikian orang yang memiliki ilmu
berkewajiban menyampaikan ilmunya sebagai petunjuk untuk membawa orang
dari kegelapan menuju cahaya Allah Swt.
F. AL-KHALIQ ( الخالق)
1. Pengertian al-Khaliq
Al-Khaliq secara etimologi berasal dari kata khalq atau khalaqa yang
berarti mengukur atau menghapus. Kemudian makna ini berkembang dengan
arti menciptakan dari tiada, menciptakan tanpa suatu contoh terlebih
dahulu, mengatur dan membuat. Kata Al Khaliq ditemukan delapan kali di
dalam al Qur’an dan merujuk kepada Allah Swt. Semenatra kata khalq
dengan berbagai bentuknya terulang 150 kali dan secara umum mempertegas
kehebatan dan kebesaran Allah Swt dalam ciptaanNya. Menurut al-Ghazali
meskipun kata Al-Khaliq sama dengan Al-Bari’ yang berarti pencipta,
tetapi keduanya memiliki makna masing-masing. Al-Khaliq berarti Allah
Swt mewujudkan sesuatu dengan ukuran yang ditetapkan. Sementara Al-Bari’
mewujudkan dari tidak ada menjadi ada saja. Sedangkan Al- Mushawwir
Dzat yang memberi rupa.
2. Meneladani Allah dengan sifat Al-Khaliq
a. Menciptakan hal-hal baru yang lebih inovatif.
Orang yang meneladani asma Allah Swt al-Khaliq dituntut untuk
menciptakan hal-hal baru yang inovatif. Hal ini diperlukan karena proses
terciptanya sesuatu memerlukan pengetahuan dan kemampuan. Pengetahuan
dan kemampuan inilah yang harus diberdayakan dalam rangka menghasilkan
produk-produk yang baru yang inovatif. Dengan demikian umat Islam yang
dijuluki oleh al-Quran sebagai sebaik-baiknya umat akan senantiasa
dinamis mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di
sepanjang masa.
b. Menyakini bahwa Allah Swt pencipta hakiki
Di dalam al-Qur’an terkadang ditemukan kata khalaqna(Kami
menciptakan) yang berarti kami menciptakan. Di sini tentu saja dapat
dimaknai ada keterlibatan pihak lain dalam penciptaan. Sementara ayat
al-Qur’an yang menggunakan redaksi khalaqtu(Aku menciptakan) berarti
mutlak kuasa dan wewenang Allah Swt. Meskipun manusia memiliki peran
dalam penciptaan tetapi peran hakiki tetap milik Allah Swt. Dalam dunia
industri misalnya Allah Swt yang menciptakan bahan mentah dan Allah Swt
juga yang memberikan ilham sehinggga manusia dengan keinginan kerasnya
dapat menciptakan sesuatu
G. AL-HAKIM ( الحكم)
1. Pengertian al-Hakim
Al-Hakim berasal dari akar kata hakama yang terdiri dari huruf ha,
kaf dan mim yang maknanya secara umum berarti menghalangi. Seperti kata
hukum yang biasanya digunakan untuk menghalangi penganiayaan seseorang
pada orang lain. Selain itu tali kendali yang digunakan untuk
mengendalikan hewan. Di dalam bahasa Arab disebut dengan hakamah karena
seseorang yang mengendalikan hewan dapat menghalangi hewan yang
bersangkutan untuk menuju arah yang diinginkan. Demikian pula kata
istilah hikmah yang digunakan untuk sesuatu yang bijaksana yang apabila
diperhatikan insya Allah seseorang akan selamat. Di dalam al Qur’an kata
Al-Hakim terulang 97 kali dan semuanya mengacu kepada sifat Allah.
Al-Hakim dipahami oleh mayoritas ulama Allah Swt sebagai Dzat yang
memiliki hikmah. Sementara hikmah berarti mengetahui hal yang paling
asasi, baik dari sisi pengetahuan atau perbuatan. Selain itu hikmah juga
bisa diartikan sesuatu yang apabila digunakan pelakunya tidak akan
tertimpa malapetaka, melainkan ia akan mendapatkan kebajikan yang besar.
Oleh karena itu beruntunglah orang-orang yang mendapatkan hikmah. Allah
Swt berfirman:
“Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah itu, maka benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak”. (QS. Al-Baqarah(2): 269)
Imam al-Ghazali memahami kata hakim sebagai pengetahuan tentang sesuatu yang paling utama dan Allah adalah hakim yang hakiki.
1. Meneladani Allah dengan sifat al-Hakim
a. Memperdalam ilmu pengetahuan
Salah satu dari pengertian al-Hakim adalah orang yang memiliki
hikmah. Salah satu makna hikmah adalah ketika ia digunakan, maka
seseorang akan selamat. Untuk selamat pasti orang akan memilih jalan
yang terbaik dan jalan yang terbaik hanya dapat ditempuh oleh
orang-orang yang berilmu. Di sini terlihat keutmaan orang yang berilmu
dan hal tersebut juga diapresiasi oleh al-Qur’an. Allah Swt berfirman:
Niscaya Allâh akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara
kalian dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat (QS.
Al-Mujadilah(58): 11),
b. Bertindak profesional dalam hal apapun
Seorang muslim yang meneladani Allah Swt sebagai al-Hakim bukan hanya
sekedar memiliki ilmu sekedarnya saja, melainkan ia harus memiliki
keahlian dan profesionalaitas khususnya pada bidang-bidang tertentu
sehingga ketika ia mengukuhkan sesuatu tidak dilakukan dengan coba-coba.
Selain itu langkahlangkah yang akan dilakukan sudah tergambar dan
menimbulkan kemaslahatan umum. Ketika ia memberikan ceramah akan
terlihat ceramah yang bermutu, efektif dan efisien.
c. Bersikap bijaksana
Seseorang yang meneladani sikap al-Hakim Allah Swt akan bersikap
bijaksana. Kebijaksanaan akan terealisasi melalui keyakinan yang penuh
bahwa pengetahuan dan tindakan yang diambilnya berada pada jalan yang
benar. Apabila ini terjadi, maka ia akan tampil di depan publik dengan
penuh rasa percaya diri, tidak berbicara dengan keraguan atau
berdasarkan perkiraan dan tidak menetapkan suatu keputusan dengan
coba-coba.
0 komentar:
Posting Komentar